Senin, 26 Oktober 2009

Sejarah Bedug Agung Pendowo Purworejo



Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo memiliki peninggalan-peninggalan kuno yang sangat berharga, dan merupakan satu-satunya di Indonesia yaitu berupa Bedug. Raden Adipati Cokronagoro pertama berkeinginan untuk melengkapi semua perlengkapan Masjid Agung Purworejo ini. Demikian pula beliau menghendaki sebuah Bedug yang akan dipakai sebagai pertanda telah masukknya saat Sholat Fardhu ( Wajib ) juga dapat dipakai untuk menandai segala kegiatan ibadah Umat Islam serta kenegaraan waktu itu. Maka keinginan Raden Adipati ini diutarakanlah kepada para Suntono Kadipaten beserta para ‘Ulama’ Kadipaten Purworejo. kayu Jati Bang, yang batangya telah dipakai untuk membuat Soko Guru Masjid Agung serta Pendhopo Kadipaten, tinggal sisanya yang disebut Bongkot ( pangkal ). Bongkotnya kayu jati itu cukup besar, berdiameter hampir 2,50 meter.
Raden Adipati Cokronagoro sangat setuju untuk memanfaatkan bongkot kayu jati Bang tersebut dan memerintahkan kepada adindanya Raden Tumenggung Prawironagoro Wedana Bragolan untuk mengurusnya. Dengan dipimpin oleh Raden Tumenggung Prawironagoro, pembuatan Bedung Agung itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan trampilnya para tukang kayu mengerjakan Bedug besar itu, digergaji dan dilubanginya bongkot kayu jati tersebut. Setelah dilubangi dan dihaluskan maka tinggallah ukuran yang sesungguhnya, yaitu diameter ( garis tengah ) 194 sentimeter pada bagian depan dan bagian belakang 180 sentimeter. Dapat dibayangkan saat pembuatan lubang pada bongkot kayu jati tersebut, tentunya sangatlah sukar, karena kayunya sangat keras. Bahkan ada perkiraan dalam melubangi kayu itu dilakukan dengan membuat bara didalam kayu itu sendiri, sehingga akan terjadi lubang, kemudian dilanjutkan dengan dicungkil sedikit demi sedikit sampai akhirnya terbentuk lubang yang sangat bagus.
Tetapi dapat pula dilakukan pencungkilan mulai dari saat awal secara sedikit demi sedikit sampai pada akhirnya membentuk lubang yang diinginkan. Yang jelas dalam proses pembuatan bedug itu sendiri, dilaksanakan dengan hati-hati dan permohonan kepada Allah SWT. Agar kelak Bedug yang terbentuk dapat bermanfaat dan berfungsi dengan baik.
Pada akhirnya pekerjaan yang cukup sulit itu selesai jugalah dikerjakan orang dengan ukuran sebagai berikut :
Garis tengah bagian depan = 194 cm
Garis tengah bagian belakang = 180 cm
Keliling lingkaran depan = 601 cm
Keliling lingkaran belakang = 564 cm
Panjang rata-rata = 292 cm
Bahan dari kayu Jati Bang bagian pangkalnya ( bongkot nya ) sisa kayu jati Pendowo, tidak terdapat sambungan, jadi utuh satu glundung. Kemudian Wedana Bragolan yang mendapat tugas memimpin pengerjaan bedug itu, yaitu Raden Tumenggung Prawironagoro, menghadap (sowan ) Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I untuk melaporkan, bahwa pembuatan Bedug Agung telah selesai dengan baik. Untuk selanjutnya tinggal menuggu perintah pengangkutannya ke kota Purworejo, yang jaraknya dari Dukuh Pendowo sampai ke kota Purworejo adalah 9 kilometer.
Mengingat pada masa itu jarak 9 kilometer adalah cukup jauh, apalagi jalannya belumlah seperti pada masa kini yang sudah beraspal dan halus. Pada masa itu, jalan dari Purwodadi sampai ke kota Purworejo masih merupakan jalan tanah yang belum rata dan bilamana dimusim hujan akan berlumpur, sedangkan pada musim panas berdebu penuh batu. Dikiri kanannya masih tertutup hutan dan dapuran bambu yang cukup rapat, sedangkan rumah penduduk masih jarang sekali. Maka masalah pengankutan Bedug Agung itu akan menjadi masalah yang cukup besar dan rumit.
Setelah Bupati Raden Adipati Cokronagoro menerima laporan dari adindanya Wedana Raden Tumenggung Prawironagoro, bahwa Bedug Agung telah selesai dibuat dan siap untuk segera diangkut ke Purworejo. Untuk pengankutan Bedug Agung tidaklah mudah karena membutuhkan tenaga yang ahli karena keadaan Bedug yang sangat besar dan tempat dimana Bedug itu dibuat karena hutan jati tersebut merupakan tempat yang agak menakutkan, wingit kata orang Jawa. Disamping itu diperlukan juga ketajaman pikir serta kebijakan orang yang akan memimpin pengangkutan Bedug tersebut dengan melalui jalan pada saat itu yang kondisinya jelek. Tentulah hanya orang yang mempunyai daya linuwih sajalah yang akan berhasil melaksanakan tugas berat itu
Pada masa itu menurut tradisi masyarakat Jawa, setiap pekerjaan atau tugas yang akan dilaksanakan, haruslah dipimpin oleh kaum kerabat dari yang mempuyai perintah tersebut ( ingkang yasa ), setelah kemudian ternyata tidak ada yang sanggup, maka diperkenankan untuk dicarikan penggantinya dari orang luar kerabat yang yasa itu.
Demikian pula dengan tugas berat ini, bahwa ternyata kerabat Cokronagoro itu tidak ada yang sanggup atau bersedia untuk melaksanakannya. Maka akhirnya terpaksa harus dipilihkan orang luar. Kemudian dengan agak takut-takut, Tumenggung Prawironagoro mencoba mengajukan usul untuk memilih orang luar kerabat Cokronagaran, tetapi yang masih ada kaitannya dengan kerabat Cokronagaran. Beliau mencoba mengusulkan Putra Menantunya sendiri sebagai pengemban tugas besar itu, yaitu Kyai Muhammad Irsyad yang menikah dengan putrinya.
Kyai Muhammad Irsyad ini adalah seorang Kyai serta Kaum ( Labai) dari pondok pesantren Solotiang di wilayah Loano. Kyai Irsyad ini mempunyai kelebihan dan kecerdasan pikirnya dibanding dengan orang-orang lainnya. Setelah disampaikan usulannya serta alasan-alasan pengajuan menantunya itu kepada kanjeng Adipati, maka dengan harap-harap cemas Raden Tumenggung Prawironagoro menanti jawaban dari Kanjeng Adipati. Tetapi kemudian ternyata usulan tersebut dapat diterima oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro. Demikian pula pada saat itu para pembesar Kadipaten pun menyetujuinya. Mereka percaya bahwa Kyai Muhammad Irsyad akan mampu mengatasi pekerjaan besar tersebut.
Dengan demikian dalam bahasa Jawa dikatakanlah bahwa Kyai Muhammad Irsyad itu ” sinengkaake ing ngaluhur ( diangkat menjadi orang besar ) oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I. Kemudian para ahli yang terpilih Kanjeng Adipati Cokronagoro berkenan melantik Kyai Muhammad Irsyad menjadi Pembesar yang akan mengepalai pekerjaan besar dan mulia itu.
Kayu jati bakal bedug diikat dengan kuat, beberapa ujung tali pengikat itu ditarik secara ramai-ramai. Bagian bawah dilandasi dengan kayu panjang bulat beberapa buah, agar dalam penarikan terasa ringan karena kayu bulat tadi akan berputar. Kemudian muka bedug dipasang lagi kayu-kayu bulat yang lain, demikian seterunya hingga sampai ke pos pertama kemudian berhenti untuk istirahat. Sepanjang perjalanan para pekerja bersorak-sorak Rambatirata, gugur gunung dengan diiringi gendang, angklung, seruling, bende dan tabuhan lainnya, sehingga menambah semangat para pekerja tadi. Riuh rendahlah suara para pekerja para pekerja dan para penonton disepanjang perjalan itu. Sesampainya di Braak atau pos pemberhentian, para penarik bedug pun berhentilah untuk beristirahat. Di braak itu telah disiapkan makanan dan minuman, perangkat tetabuhan gamelan beserta ledeknya. Penduduk sekitarnya menyambut rombongan pekerja penarik bedug Agung itu.
Disaat istirahat dengan lemah gemulai para ledek ( Tandak ) itupun menari diiringi irama gamelan. Sesekali diantar mereka turut menari, berjoget dengan para ledek tersebut menambah gembiranya suasana. Demikian keadaan di Braak saat itu, sampai pada akhirnya mereka terlelap tidur. Begitulah setiap Braak dicapai setiap harinya, hingga sampai Braak terakhir terjangkau. Maka diperkirakan memakan waktu 20 hari perjalanan penarikan Bedug Ageng tersebut.
Demikianlah Pos demi pos dilalui selama kurang lebih 20 hari dengan penuh semangat serta perhatian dari penduduk sekitarnya,akhirnya sampailah di Kota Purworejo
Di Kota Purworejo telah disiapkan penyambutan oleh Kangjeng Raden Adipati Cokronagoro beserta pembesar-pembesar Kabupaten dan Ulama-ulama, demikian pula penduduk Kota Purworejo turut mengelu-elukannya.
Di depan Gapura Masjid Agung, para penyambut telah siap siaga menunggu kedatangan Beduk Ageng yang akan menjadi kebanggaan seluruh rakyat Purworejo nantinya. Tak berapa lama terdengarlah suara bunyi-bunyian riuh rendah , puput serunai, gendang dan angklung serta sorak sorai para penarik beduk dan penonton, bercampur menjadi satu, gegap gemita tidak karuan suaranya.
Para penyambut di depan gapura masjid, bergoyang dan bergumam seperti suara lebah mendengung, semua melihat kearah datangnya suara gemuruh riuh rendah itu. Tampaklah didepan sendiri para penari, pentulan dan jathilan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian, diikuti oleh para penabuh dan akhirnya tampaklah Kiayi Muhammad Irsyad bersama para pengirimnya berjalan didepan para penarik Bedug Agung itu. Di belakang sendiri para penggembira dari desa-desa yang dilalui turut mengiringinya dengan membawa serta bunyi-bunyiannya sendiri-sendiri. Sesampainya didepan gapura Masjid Agung, rombongan tersebut berhenti. Para penari, pentulan jathilan dan lain sebagainya, menyibak memberikan jalan untuk lalunya Kyai Muhammad Irsyad.
Setelah Kayu Jati yang diperuntukan bagi Bedug Agung itu sampai di masjid Agung Kota Purworejo, maka untuk selanjutnya akan disempurnakan sebagaimana halnya sebuah bedug, yaitu dipasang penutup Bedug dari kulit. Karena besarnya bedug itu, maka diperlukan kulit penutup yang besar pula kemudian dicarilah kulit yang besar dari hewan besar. Pada masa itu masih banyak terdapat banteng. Maka jatuhlah pada pilihan hewan ini. Setelah kulit banteng didapat, lalu dipanggilmya seorang yang ahli Pemangkis ( penutup ) bedug yang terkenal di Purworejo
Sebelum di tutup, didalam bedug itu dipasang semacam gong sejumlah 2 buah, dipasang behadapan dengan maksud, apabila bedug itu di tabuh, maka akan diteruskan pada kedua gong tadi getarannya. Diharapkan suaranya akan bertambah nyaring. Dalam istilah ilmu alamnya ( fisika ) hal itu disebut resonansi.
Bedug Agung yang telah selesai diberi penutup dari kulit banteng tersebut, digantung pada kerangka kayu jati dengan rantai besi. Kemudian diletakkan disebelah selatan dalam serambi Masjid Agung. Disampingnya diletakkan sebuah khenthongan kayu jati yang agak besar, sebagai pembantu irama bedug bila di tabuh. Pada awalnya Bedug Ageng itu adalah ditabuh orang apabila telah tiba saatnya Sholat Wajib yang Lima. Jadi didalam waktu satu hari Bedug Agung di pukul dengan irama tertentu sebanyak lima ( 5 ) kali. Pada masa itu pepohonan masih cukup rapat, dan udara tidak begitu kotor, suara bising dan hiruk pikuk tidak ada, maka suara serta gema dari bunyi Bedug Agung sangat keras terdengar.
Maka dimintalah lembu Ongale tadi untuk memenuhi kebutuhan Bedug Agung. Tentu saja pemiliknya tidak merasa keberatan untuk memberikannya. Akhirnya disembelih dan dikulitilah lembu itu serta disamak dengan baik agar diperoleh bahan penutup bedug yang kuat dan awet. Pada tanggal 13 Mei 1936, dipasanglah kulit lembu Ongale itu sebagai ganti kulit penutup Bedug Agung yang rusak tadi.
Penggantian kulit Bedug Agung yang terakhir ini, adalah pada bulan Mei tanggal 3 tahun 1993 Masehi. Yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar pemberian seorang dermawan dari Cilacap. Anehnya bila kulit bedug sudah diberikan, maka dapat dipastikan beberapa saat kemusian salah satu bagian penutup itu terus rusak.Wallhu ’alam Bishshawab
Data - Data Bedug Ageng Pendowo – Kyai Bagelen
1Bahan Bedug : Bongkot (pangkal)pohon jati bang yang bercabang lima,yang berusia ratusan tahun
2Ukuran Bedug :
Panjang Badan Bedug : 292cm
Garis tengah depan : 194cm
Garis tengah belakang :180cm
Keliling bagian depan : 601cm
Keliling bagian belakang :564cm
3 Penutup Bedug Semula dari kulit Banteng .
1 Tangga l3Mei 1936 di ganti dengan kulit lembu Ongale

2 Bagian belakang diganti lagi dengan kulit sapi besar pada bulan Mei 1993
4 Paku penguat untuk penguat sekeliling kulit Penutup Bedug, diberikan paku keliling tersebut dari kayu jati
Jumlah paku keliling : Bagian depan = 112 buah
Bagian belakang = 98 buah

1. Waktu pembuatan diperkirakan antara tahun 1834 – 1840 Masehi
2. Dibuat atas perintah Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I , Bupati Purworejo pertama. Diangkut dari dukuh Pendowo, Bragolan, Purwodadi ke Masjid Agung Purworejo dengan pimpinan Kyai Haji Muhammad Irsyad, Kaum ( Na’ib ) desa Solotiang, Loano, Purworejo. Putra menantu Raden Tumenggung Prawironagoro Wedana Bragolan Purworejo
3. Bedung Agung ini akan dibunyikan pada hari-hari tertentu saja, tidak setiap hari seperti pada masa lampau, hal ini dilakukan untuk menghindari cepat rusaknya kulit penutup bedug itu sendiri, bila terlalu sering dipalu orang.

4. Hari-hari itu adalah, setiap hari Kamis, dimulai pada saat Shlolat Ashar, Sholat Maghrip, Isya’, Sholat Subuh dan menjelang Sholat Jum’at. Setelah itu berhenti. Lalu setiap menjelang Sholat Sunnat Hari Raya Fitrah ( Idul Fitri ) dan Qurban, pada saat detik-detik Proklamasi Tanggal 17 Agustus serta bila ada kejadian-kejadian penting lainnya. Selain hari-hari tersebut, Bedug Ageng ini tidak dibunyikan orang.
Orang yang bertugas untuk memukul Bedug Ageng ini ialah Bapak Amat Sa’bani, Bp. Jahri dan pada bila hari raya adalah Turmudi.

4 komentar: